Translate

Rabu, 01 April 2015

SURILI (Presbytis comata)



 SURILI  (Presbytis comata)




A.    Taksonomi dan Morfologi
Surili merupakan nama dalam bahasa Indonesia dan Sunda untuk menyebutkan monyet pemakan daun yang penyebarannya hanya terbatas di Pulau Jawa bagian barat (Ruhiyat 1983, Kool 1992). Surili dalam bahasa inggris dikenal dengan nama grizzled leaf monkey, grizzled langur, javan langur, grey langur dan silvered leaf monkey (Hoogerwerf 1970, Kool 1992, Supriatna et al. 1994, Rowe 1996, Duff & Lawson 20014). Napier & Napier (1967) mengklasifikasikan surili sebagai berikut : kingdom Animalia, phylum Chordata, subphylum Vertebrata, kelas Mammalia, ordo Primates, subordo Anthropoidea, superfamily Cercopithecoidae, family Cercopithecidae, subfamily Colobinae, genus Presbytis, dan spesies Presbytis anygula Linnaeus, 1758.
Presbytis anygula memiliki nama asli Semnopithecus comatus Desmarest, 1822, dan memiliki sinonim S. fulvogriseus Desmoulins, 1825 dan S. nigrimanus Geoffroy, 1943 (Maryanto et al. 2008). P. anygula juga pernah dikenal dengan nama Simia fascicularis Raffles, 1821 dan P. mitrata Eschscholtz, 1821 (Brandon-Jones et al. 2004). Nama P. anygula pada tahun 1983 diubah menjadi P. comata Desmarest, 1822 (Groves 1993, Brandon-Jones et al. 2004).
Surili yang hidup di Gunung Slamet semula dianggap sebagai anak spesies dari P. comate sehingga diberi  nama P. comata fredericae Sody, 1930 (Supriatna dan Wahyono 2000, Supriatna 2008). P. comata fredericae pada tahun 1985 disulkan sebagai spesies yang terpisah dari P. comate (Brandon-Jones 1985). Para ilmuwa pada pertemuan IUCN di Florida tahun 2004 memisahkan P. comata fredericae dari anak spesies P. comata menjadi P. comata fredericae Sody, 1930 (Supriatna 2008).
Presbytis adalah monyet berukuran sedang sampai besar. Monyet ini memiliki bentuk kepala yang bulat, hidung yang pesek dan perut yang besar ( Napier & Napier 1967). Presbytis memiliki ukuran tungkai yang kecil dan ramping serta ekor yang lebih panjang dibading ukuran kepala-bada, tebal ekor seragam dari pangkal sampai ujungnya. Rambut yang meutupi tubuh cukup panjang dan tebal, rambut di kepala memiliki jambul berujung runcing, alias meremang kaku mengarah ke depan (Napier & Napier 1967).
Warna tubuh surili dewasa mulai dari kepala sampai bagian punggung umumnya hitam atau kecoklatan dan keabuan, dan jambul serta rambut kepala berwarna hitam. Rambut yang tumbuh di bawah dagu, dada dan perut (ventral), bagian dalam lengan, kaki dan ekor, berwarna putih (Napier 1985, Supriatna & Wahyono 2000). Rambut alis kaku tumbuh mengarah kedepan. Kulit muka dan telinga berwarna hitam pekat agak kemerahan. Surili memiliki iris mata cokelat gelap. Anak yang baru lahir berwarn putih dan memiliki garis hitam mulai dari kepala hingga bagian ekor (Supriatna & Wahyono 2000).

          Surili memiliki ukuran tubuh yang hampir sama antara jantan dan betina (Supriatna & Wahyono 2000). Individu jantan dan betina memiliki panjang tumbuh berkisar 430-600 mm, panjang ekor berkisar 560-720 mm, dan berat tubuh rata-rata 6,50 kg (Supriatna & Wahyono 2000). Menurut Napier (1985), individu jantan memiliki panjang kepala sampai badan berkisar 430-595 mm dan panjang ekor berkisar 560-724 mm, sedangkan individu betina memiliki panjang kepala sampai badan berkisar 475-570 mm dan panjang ekor berkisar 590-720 mm. Berat badan individu jantan sekitar 6,40 kg dan individu betina sekitar 6,70 kg (Fleagle 1988).
 
B.    Reproduksi
Data yang rinci dan dipublikasikan terkait dengan reproduksi surili belum tersedia (Rowe 1996). Musim kelahiran kelompok monyet pemakan daun umumnya sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan. Kelahiran P. entelus di Himalaya misalnya terkonsentrasi pada bulan April dan Mei, tetapi di beberapa daerah di India, kelahiran terjadi sepanjang tahun (Napier & napier 1985).
Siklus menstruasi kelompok monyet pemakan daun sekitar 30 hari. Masa kehamilannya diperkirakan sekitar 196-210 hari. Kelompok monyet ini umumnya hanya melahirkan satu individu bayi pada setiap melahirkan (single births). Individu bayi pada saat dilahirkan memiliki warna yang berbeda dengan induknya. Warna ini mulai umur tiga bulan akan terus mengalami perubahan hingga dewasa. Masa menyusui berlangsung hingga umur dua tahun. Individu betina mengalami kematangan seksual mulai umur tiga sampai empat tahun, sedangkan individu jantan mulai umur empat tahun (Napier & Napier 1985).

C.    Habitat dan Penyebaran
Habitat surili adalah hutan primer dan sekunder, mulai dari hutan mangrove sampai hutan pegunungan, dengan ketinggian sampai 2.000 mdpl, dan seringkali dijumpai di zona peralihan antara hutan dan kebun (Supriatna & Wahyono 2000). Surili memiliki lokasi penyebaran yang sangat terbatas, yakni hanya di Pulau Jawa bagian barat, sehingga merupakan spesies endemik Jawa Barat (Kool 1992, Supriatna et al. 1994, Supriatna & Wahyono 2000).
Odum (1971) mendefinisikan habitat suatu organisme suatu organisme sebagai tempat hidup, atau tempat seseorang harus pergi untuk menemukan organisme tersebut. Habitat dapat juga digunakan untuk menunjukan sebuah tempat yang didiami oleh seluruh komunitas (Odum 1971). Pringgoseputra & Srigandono (1990), mendefinisikan habitat sebagai tempat terbentuknya organisme, baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi organisme tersebut. Menurut Alikodra (1990), habitat merupakan tempat tersusun oleh berbagai komponen, baik fisik maupun biotik yang membentuk suatu kesatuan dan mempunyai fungsi sebagai tempat hidup, penyediaan makanan, air, pelindung serta tempat berkembangbiaknya satwa liar.
Habitat utama surili pada mulanya adalah hutan dataran rendah dan daerah pegunungan yang tidak terlalu tinggi (Hoogerworf 1970). Adanya berbagai kerusakan dan tekanan habitat di dataran rendah menyebabkan surili lebih banyak dijumpai pada hutan pegunungan dan subpegunungan, dengan ketinggian 1.200-1.800 mdpl (Ruhiyat 1983, Rowe 1996), dan relatif jarang berada di bawah ketinggian 1.200 mdpl (Supriatna et al. 1994).
Surili umumnya hidupnya pada habitat hutan primer (Napier & Napier 1985). Surili juga dapat hidup dan berkembangbiak dengan baik di hutan sekunder maupun perkebunan sekitar pemukiman, misalnya di perkebunan dan hutan tanaman Perhutani, Bandung Selatan. Berbeda dengan hasil penelitian Wibisono (1995) di Gunung Honje, Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), surili tidak pernah ditemukan di kawasan hutan sekunder maupun bekas ladang penduduk.
TNUK merupakan salah satu habitat surili dataran rendah yang masih tersisa (MacKinnon 1987). Surili di TNUK menempati kawasan Gunung Payung dengan ketinggian sekitar 200 mdpl (Ruhiyat 1983). TN Gunung Gede Pangrango, TN Gunung Halimun-Salak, Cagar Alam (CA) Gunung Papandayan, CA Gunung Patuha, CA Situ Patenggang, dan TWA Gunung Tampomas merupakan contoh habitat surili yang berupa hutan sub pegunungan dan hutan pegunungan (Putra 1993). Di TNGGGP surili berada pada ketinggian 1300-1500 mdpl (Sujamika 1992).



D.    Ukuran Kelompok dan Populasi
Surili memiliki ukuran kelompok yang bervariasi, tergantung kondisi habitatnya, dan umumnya relatif kecil jika dibandingkan dengan jenis lutung lainnya (Ruhiyat 1983, Supriatna & Wahyono 2000). Ukuran kelompok surili berkisar antara 3-12 individu, dengan rata-rata 7 individu (Bennet & Davies 1994). Menurut Supriatna & Wahyono (2000), jumlah individu surli dalam kelompok berkisar 7-12 individu. Ukuran kelompok surili di CA Kawah Kamojang berkisar 4-12 individu, dan di CA Situ Patenggang berkisar 3-10 individu (Ruhiyat 1983). Ukuran kelompok surili di CA Situ patenggang perkembangan berikutnya tidak banyak mengalami perubahan, yakni berkisar 3-8 individu (Putra 1993). Ukuran kelompok surili di kawasan hutanCA Gunung Tukung Gede berkisar antara 5-23 individu (Melisch & Dirgayusa 1996).
Jumlah individu dalam setiap kelompok suatu spesies primata dipengaruhi oleh kelimpahan pakan (Napier & napier 1985). Gangguan habitat juga telah menyebabkan terjadinya perbedaan ukuran kelompok surili (Tobing 1999). Anggota kelompok surili di TN Gunung Halimun pada kawasan hutan yang tidak terganggu berkisar 2-8 individu dengan rata-rata 4 individu, sedangkan pada kawasan hutan yang terganggi berkisar 2-6 individu dengan rata-rata 3 individu (Tobing 1999).
Kepadatan surili pada tahun 1980-an diperkirakan 8.040 individu (MacKinnon 1987). Penyusutan habitat menyebabkan populasi surili terus menurun (Supriatna & Wahyono 1987). Total populasi surili akhir-akhir ini berkisar 4.000-6.000 individu (Supriatna & Wahyono 2000), bahkan pendugaan Rowe (1996) lebih kecil lagi, yakni 3.000 individu. Ukuran populasi surili di kawasan Unocal Geothermal Indonesia, Gunung Salak, sekitar 984 pada pengamatan pagi dan sekitar 827 individu pada pangamatan sore (Siahaan 2002).
Kepadatan populasi diberbagai tempat bervariasi (Ruhiyat 1983, Supriatna et al. 1994, Tobing 1999, Siahaan 2002), yakni berkisar 4-35 individu/Km2 dan dipengaruhi oleh keadaan habitat (Supriatna et al. 1994). Kepadatan populasi surili di CA Situ Patenggang sekitar 35 individu/Km2 dan di CA Kawah Kamojang berkisar 11-12 individu/Km2 (Ruhiyat 1983), di TNUK hanya ditemukan di habitat hutan primer, sekitar 23 individu/Km2 dan pada habitat terganggu sekitar 8 individu/Km2 (Tobing 1999), dan di kawasan Unocal Geothermal Indonesia, Gunung Salak berkisar 13-15 individu/Km2 (Siahaan 2002).

E.     Jenis Pakan
Subfamili Colobinae merupakan satwa yang bersifat arboreal penuh, monyet pemakan daun, dan tanpa kantong pipi (Young 1981, Rowe 1996). Semua satwa yang termasuk ke dalam subfamili Colobinae memiliki sistem pencernaan yang sudah teradaftasi secara khusus untuk mendukung koloni bakteri di dalam usus. Koloni bakteri ini akan membantu Colobinae untuk menyerap selulosa pada daun, buah, dan biji (Rowe 1996).
Makanan utama surili adalah daun, terutama daun muda, sehingga disebuat satwa pemakan daun /foliovora (Tobing 1999). Surili juga mengkonsumsi sebagian kecil buah, tunas, bunga, biji, tangkai dan umbut sebagai sumber pakan tambahan (Napier & napier 1985). Dominannya bagian daun yang dikonsumsi surili telah dibuktikan oleh para peneliti di CA Situ Patenggang, Jawa Barat, mencapai 78,60%, terutama daun muda sebanyak 45 % (Putra 1993). Surli di CA Kawah Kamojang juga mengkonsumsi daun (muda dan tua) sebanyak 64 %, sedangkan buah dan biji sebanyak 14 % dan bunga sebanyak 7 % (Ruchiyat 1983), sisanya yang berupa serangga, tanah dan jamur sebanyak 15 % (Supriatna & Wahyono 2000).
Jumlah jenis tumbuhan yang dimakan oleh surili bervariasi, tergantung tipe habitatnya. Tumbuhan yang dimanfaatkan oleh surili sebagai pakan sekitar 74 jenis (Rowe 1996), 28 jenis dikonsumsi bagian daunnya (Putra 1993) dan 36 jenis dikonsumsi bagian buahnya (Ruhiyat 1983). Jumlah tumbuhan yang dimakan surili di TNGH sebanyak 66 jenis (Farida & Harun 2000), di CA Situ Patenggang sebanyak 42 jenis (Putra 1993) dan di kawasan Unocal Geothermal Indonesia Gunung Salak sebanyak 37 jenis (Siahaan 2002). Jenis-jenis tersebut diantaranya cerem Macroponax dispermum, kikopi Canthium glabrum, Peusar Artocarpus rigida, purut Parartocarpus venenosa, rambutan Nephelium lappaceum, duku Lansium domesticum, kokosan leuweung Dysoxylum caulostacchyum dan pisang hutan (Melisch & Dirgayusa 1996).
Dipilihnya daun yang masih muda sebagai pakan diduga karena daun muda cenderung memiliki protein yang cukup tinggi, lignin dan tanin yang renda, serta lebih mudah dicerna.

F.     Sosio-ekologi dan Aktifitas Harian
Surili merupakan spesies primata yang hidup berkelompok dengan satu jantan banyak betina (Benet & Davis 1994, Rowe 1996, Tobing 1999, Supriatna & Wahyono 2000). Jantan dewasa bersifat dominan (Ruhiyat 1983). Surili merupakan salah satu jenis primata yang aktif di siang hari/diurnal (Putra 1993), Rowe 1996, Supriatna & Wahyono 2000). Surili mulai meninggalkan pohon tempat tidurnya sekitar pukul 06.00. Pergerakan mencari makan pada pagi hari dilakukan relative cepat dengan berpindah dari satu pohon ke pohon lain, disertai dengan vokalisasi (morning call) beberapa kali oleh individu jantan dewasa yang memimpin pergerakan. Kelompok akan berhenti dan mulai melakukan aktifitas makan ketika mendapatkan pohon pakan. Istirahat berlangsung 2-3 jam, sampai tengah hari. Surili terlihat aktif kembali melakukan aktifitas makan makan pada sore hari (sekitar pukul 16.00), dengan aktivitas makan makin meningkat terutama menjelang malam hari pada saat surili akan istirahat. Aktivitas makan pada saat hari mulai gelap (+ pukul 18.30) akan menurun dengan ditandai pergerakan berpindah yang makin lambat dari satu pohon ke pohon lainnya dan bila cuaca sudah gelap surili menghentikan seluruh aktivitasnya. Pemilihan pohon tempat tidur biasanya pada daerah yang tidak jauh dari tepi hutan (Putra 1993).
Surili menggunakan sebagian besar waktunya untuk beristirahat (Putra 1993). Waktu yang digunakan surili untuk beristirahat sekitar 60.00%, untuk makan sekitar 30.00%, untuk pergerakan/berpindah sekitar 5.00% (Supriatna & Wahyono 2000). Surili ketika melakukan penjelajahan umumnya akan tetap bersama-sama dan tidak terpisah menjadi beberapa anak kelompok. Pada saat penjelajahan tersebut, surili dapat menggunakan semua lapisan kanopi hutan, baik pada lapisan kanopi bawah, tengah maupun atas (Tobing 1999). Menurut Supriatna et al. 1994), surili lebih sering berada pada lapisan kanopi bawah dan tengah. Perbedaan tersebut diduga lebih disebabkan karena adanya perbedaan komposisi tumbuhan (baik mencakup pohon pakan maupun sebaran tinggi pohon) pada masing-masing habitat. Jantan akan mengeluarkan suara sebagai peragaan kekuatan sambil berlari-lari dan melompat, ketika dua kelompok bertemu. Namun, bentrokan secara fisik antara dua kelompok surili yang bertemu dalam penjelajahan tidak pernah dilaporkan terjadi.         

G.    Wilayah Jelajah
Surili juga merupakan spesies primate yang jarak tempuh perjelajahan hariannya cukup pendek. Jarak tempuh surili setiap harinya kurang dari 1.000 meter (Rowe 1996). Menurut Putra (1993), surili tiap harinya bergerak menjelah sejauh 182-400 m. Menurut Rowe (1996), surili dapat menempuh jarak 400-600 m setiap hari, sedangkan menurut Supriatna & Wahyono (2000), surili memiliki pergerakan harian rata-rata mencapai 900 m/hari.
Setiap kelompok surili memiliki luas wilayah jelajah yang berbeda dan terkadang tumpang tindih dengan kelompok surili lainnya (Putra 1993). Menurut Supriatna & Wahyono (2000), surili memiliki daerah jelajah berkisar antara 9,00-2,00 ha yang tergantung pada besar kecilnya kelompok. Menurut Putra (1993), luas wilayah jelajah surili di CA Situ Patenggang sekitar 7,75 ha.

H.    Kecepatan Deteksi terhadap Kehadiran Manusia
Kecepatan deteksi dari primata terhadap kehadiran manusia dapat dijadikan sabagai salah satu gambaran tingkat adaptasi suatu spesies terhadap kondisi lingkungan (kualitas hutan sebagai habitat), terutama terhadap kehadiran manusia (Tobing 1999). Surili merupakan satwa yang sangat penakut (Kool 1992). Hasil penelitian yang dilakukan di Cikaniki TNGH, surili yang hidup di hutan yang tidak terganggu umumnya memiliki kemampuan deteksi awal lebih tinggi terhadap kehadiran manusia dibandingkan dengan surili yang hidup di hutan terganggu. Surili merupakan spesies yang paling waspada di habitat hutan tidak terganggu, bila dibandingkan dengan lutung jawa Trachypithecus auratus dan owa jawa Hylobates moloch. Surili pada hutan terganggu merupakan spesies yang paling tidak waspada dibandingkan dengan lutung jawa dan owa jawa. Ini juga dapat menjadi indikasi bahwa surili merupakan spesies yang paling adaptif di hutan terganggu, dalam hal ini deteksi terhadap kehadiran manusia, jika dibandingkan dengan lutung dan owa jawa (Tobing 1999).
Surili tidak pernah memberikan reaksi positif terhadap kehadiran manusia (mendeteksi manusia), baik pada hutan tidak terganggu maupun hutan terganggu. Surili lebih banyak memberikan rekasi negatif dibandingkan dengan reaksi netral, baik pada hutan yang terganggu maupun tidak terganggu. Surili akan mengeluarkan suara tanda bahaya (alarm call), berlari naik lebih tinggi di pohon untuk menghidnar ketika melihat manusia (Tobing 1999).

I.     Pengaruh Gangguan Habitat terhadap Populasi
Penyusutan habitat merupakan ancaman terbesar bagi populasi surili. Penyusutan habitat yang sangat pesat di Pulau Jawa menyebabkan surili kehilangaan sekitar 96% habitatnya, dari luas 43.274 km2 menjadi hanya 1.608 km2, akibatnya populasi surili di dalam terus menurun. Populasi surili yang saat ini menempati kawasan konservasi seluas 730 km2 diperkirakan hanya sekitar 4.000-6.000 individu (Supriatna & Wahyono 2000).
Gangguan habitat merupakan bentuk gangguan yang paling serius terhadap ancaman keberadaan surili (Putra 1993). Persentasi kelompok surili yang mempunyai bayi pada habitat tak terganggu di kawasan hutan TNGH adalah 20,00% dan di hutan terganggu sebanyak 17,00%. Rata-rata rasio jumlah bayi dengan betina dewasa di hutan tak terganggu sebesar 0,20 sedangkan di hutan terganggu sebesar 0,17. Data ini mengidentifikasikan adanya kecenderungan proses perkembangbiakan lebih tinggi terjadi di habitat hutan tak terganggu dibandingkan dengan di habitat hutan terganggu (Tobing 1999).
Gangguan habitat juga berpengaruh terhadap kepadatan individu dan besarnya anggota kelompok. Kepadatan individu surili di TNGH pada habitat tidak terganggu sebesar 23 individu/km2, sedangkan pada habitat terganggu sebesar 8 individu/km2. Ukuran kelompok surili rata-rata di habitat tidak terganggu sekitar 4 individu/kelompok, sedangkan di habitat terganggu sekitar 3 individu/kelompok (Tobing 1999).

PENGUKUHAN KAWASAN KONSERVASI



PENGUKUHAN KAWASAN KONSERVASI



A.   Regulasi
  1. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 32/Kpts-II/2001 tanggal 12 Februari 2001, tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan, Bab II Pasal 4 dan PP Nomor 44 Tahun 2004 tanggal 18 Oktober 2004 Pasal 16 tentang Perencanaan Kehutanan bahwa Pengukuhan Kawasan Hutan dilakukan melalui tahapan proses:
a.    Penunjukan Kawasan Hutan
b.    Penataan Batas Kawasan Hutan
c.    Pemetaan Kawasan Hutan dan
d.    Penetapan Kawasan Hutan

  1. Berdasarkan Keputusan Direktorat Jenderal Inventarisasi Tata Guna Hutan dan Kebun Nomor 82/Kpts/VII-I/1998 tanggal 25 Juni 1998 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengukuhan Hutan Bab II bahwa Tata Cara Pelaksanaan Pengukuhan Hutan sebagai berikut:
a.    Penyiapan Proyeksi Batas
b.    Persiapan Lapangan
c.    Pembuatan Batas Sementara
d.    Pembuatan Batas Definitif
e.    Pengesahan Berita Acara Tata Batas dan Peta Lampirannya
f.     Penetapan Kawasan Hutan

I. PENDAHULUAN

Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan menetapkan bahwa Pemerintah menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan guna memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan adalah rangkaian kegiatan penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum atas status, letak, batas dan luas kawasan hutan.
Penetapan kawasan hutan yang merupakan tahap akhir dan proses pengukuhan kawasan hutan telah memberikan status hukum yang jelas antara lain tidak hanya kelengkapan dokumen yuridis mengenai kawasan hutan tetapi juga kejelasan fisik batas lapangan. Disamping itu dalam penetapan kawasan hutan telah jelas mengenai status, letak, batas dan luas definitif, pengelola kawasan hutan dan lain-lain menyangkut kegiatan pemeliharaan dan pengamanan batas kawasan hutan.
Dengan adanya kejelasan status kawasan hutan, maka Pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan memudahkan untuk melakukan pengaturan dan pengurusan yang berkaitan dengan kawasan hutan, diantaranya mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang/ masyarakat/ badan hukum dengan hutan serta mengatur perbuatan-perhuatan hukum mengenai kehutanan.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 serta Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 disebutkan bahwa kewenangan penataan batas Hutan Produksi dan Hutan Lindung oleh Pemerintah Daerah sedangkan Kawasan Konservasi oleh Pemerintah Pusat.

II. PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN
GUNA MEMBERIKAN KEPASTIAN HUKUM ATAS KAWASAN HUTAN

Pengukuhan kawasan hutan diselenggarakan oeh Menteri untuk memberikan kepastian hukum mengenai status, fungsi, letak, batas dan luas kaasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan dilakukan melalui tahapan proses:
a.    Penunjukan kawasan hutan
b.    Penataan batas kawasan hutan
c.    Pemetaan kawasan hutan dan
d.    Penetapan kawasan hutan
Kriteria dan standar pengukuhan kawasan hutan ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

A.  Penunjukan Kawasan Hutan
Penunjukan kawasan hutan dilaksanakan sebagai proses awal suatu wilayah tertentu menjadi kawasan hutan. Penunjukan kawasan hutan meliputi:
1)   Wilayah Provinsi, penunjukan kawasan hutan dan perairan wilayah provinsi dilakukan oleh Menteri dengan memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) dan atau pemaduserasian TGHK dengan RTRWP.
2)   Wilayah Tertentu secara parsial (KSA/KPA/TB/THR, HP, HL), penunjukan wiayah tertentu secara parsial manjadi kawasan hutan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a)    Usulan atau rekomendasi Gubernur dan atau Bupati/ Walikota;
b)   Secara teknis dapat dijadikan hutan
Penunjukan kawasan hutan dilampiri peta penunjukan kawasan hutan Penunjukan kawasan hutan ditentukan berdasakan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) sepanjang menyangkut Taman Buru (TB), Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Produksi Tetap (HP), dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK).
Penunjukan kawasan hutan juga ditentukan berdasarkan Perauran Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam sepanjang menyangkut Cagar Alam (CA),Suaka Margasatwa (SM), Taman Nasional (TN), Tahura dan Taman Wisata Alam (TWA).

B.  Penataan Batas Kawasan Hutan
Berdasarkan penunjukan kawasan hutan dilakukan penataan batas kawasan hutan, Tahapan pelaksanaan penataan batas mencakup kegiatan:
1)   Pemancangan patok batas sementara
2)   Pengumuman hasil pemancangan patok balas sementara
3)   Inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga yang berada disepanjang trayek batas dan di dalam kawasan hutan
4)   Penyusunan Berita Acara Pengakuan oleh masyarakat di sekitar trayek batas atas hasil pemancangan batas sementara.
5)   Penyusunan Berita Acara Pemancangan batas sementara yang disertai dengan peta pemancangan patok batas sementara.
6)   Pemasangan pal batas yang dilengkapi dengan lorong batas.
7)   Pemetan hasil penataan batas
8)   Pembuatan dan penandatangan Berita Acara Tata Batas dan Peta Tata Batas.
9)   Pelaporan kepada Menteri dengan tembusan kepada Gubernur
Berdasarkan kriteria dan standar pengukuhan kawasan hutan yang ditetapkan Menteri, Gubernur menetapkan pedoman penyelenggaraan penataan batas.
Berdasarkan pedoman penyelenggaraan penataan batas, Bupati/ Walikota menetapkan petunjuk pelaksanaan penataan batas. Bupati/ Walikota bertanggung jawab atas penyelengaraan penataan batas kawasan hutan di wilayahnya.
Pelaksanaan penataan batas kawasan hutan dilakukan oleh Panitia Tata Kawasan Hutan. Panitia Tata Batas Kawasan Hutan dibentuk oleh Bupati/ Walikota. Unsur keanggotaan, tugas fungsi, prosedur dan tata kerja Panitia Tata Batas Kawasan Hutan diatur dengan Keputusan Menteri, Panitia Tata Batas Kawasan Hutan antara lain bertugas:
1)   Melakukan persiapan pelaksanaan penataan batas dan pekerjaan pelaksanan dilapangan.
2)   Menyelesaikan masalah-masalah hak-hak atas lahan/ tanah disepanjang trayek batas dan hak-hak atas lahan/ tanah di dalam kawasan hutan.
3)   Memantau pekerjaan dan memeriksa hasil-hasil pelaksanaan pekerjaan tata batas di lapangan.
4)   Membuat dan menandatangani Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan dan Peta Tata Batas Kawasan Hutan
Hasil penataan batas kawasan hutan dituangkan dalam Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan yang ditandatangani oleh Panitia Tata Batas Kawasan Hutan dan diketahui oleh Bupati/ Walikota dan disahkan oleh Menteri.

C. Pemetaan Kawasan Hutan
Pemetaan dalam rangka kegiatan pengukuhan kawasan hutan dilakukan melalui proses pembuatan peta:
1)   Penunjukan kawasan hutan
2)   Rencana trayek batas
3)   Pemancangan patok batas sementara
4)   Penataan batas kawasan hutan
5)   Penetapan kawasan hutan
Peta Tata Batas Areal yang dipetakan sebagai kawasan hutan adalah:
1)    Peta dasar yang digunakan ditentukan berdasarkan urutan ketersediaan liputan peta atas kawasan hutan yang dipetakan yaitu Peta Rupa Bumi (RBI), Peta Topografi (TOP), dan Peta Joint Operation Graphic (JOG).
2)    Menggambarkan hasil pelaksanaan penataan batas kawasan hutan dalam bentuk peta tata batas.
3)    Ukuran/ format peta 60 cm x 80 cm (termasuk informasi tepi).
4)    Pembuatan peta tata batas mengikuti kaidah-kaidah pemetaan.

D.  Penetapan Kawasan Hutan
Menteri menetapkan kawasan hutan didasarkan atas Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan dan Peta Tata Batas Kawasan Hutan yang telah temu gelang. Dalam hal penataan kawasan hutan temu gelang tetapi masih terdapat hak-hak pihak ketiga yang belum diselesaikan maka kawasan hutan tersebut ditetapkan oleh Menteri dengan memuat penjelasan hak-hak yang ada di dalamnya untuk diselesaikan oleh Panitia Tata Batas yang diakui. Hasil penetapan kawasan hutan terbuka untuk diketahui masyarakat.


III. PENATAAN BATAS KAWASAN KONSERVASI

Sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 serta Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 disebutkan bahwa kewenangan penataan batas hutan produksi dan hutan lindung oleh Pemerintah Daerah, sedangkan kawasan konservasi oleh Pemeritah Pusat.



IV. IMPLIKASI PENGUKUHAN KAWASAN KONSERVASI BAGI MASYARAKAT


Pengukuhan kawasan hutan diselenggarakan oleh Menteri untuk memberikan kepastian hukum mengenai status, fungsi, letak, batas dan luas kawasan hutan.
Penetapan kawasan yang merupakan tahap akhir dari proses pengukuhan kawasan hutan telah memberikan status hukum yang jelas antara lain tidak hanya kelengkapan dokumen yuridis mengenai kawasan hutan tetapi juga kejelasan fisik batas di lapangan. Dengan kejelasan status kawasan hutan maka memudahkan Pemerintah melakukan pengaturan dan pengurusan yang berkaitan dengan kawasan diantaranya mengatur dan menetapkan hubungan-antara orang masyarakat/ badan hukum dengan kawasan hutan serta mengatur perbuatan-pebuatan hukum mengenai kehutanan.
Berkaitan dengan itu pembangunan kehutanan yang lebih berorientasi kepada peran serta masyarakat, maka pada penetapan kawasan hutan yang berkaitan dengan peran serta masyarakat telah diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 68 yaitu:
1)   Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2)   Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan titik tolak kedua ayat tersebut, maka penetapan kawasan hutan dan proses pengukuhan kawasan hutan yang dapat berpengaruh terhadap putusnya hubungan masyarakat dengan hutan atau hilangnya mata pencaharian masyarakat, maka pemerintah (Departemen Kehutanan) bersama pihak penerima ijin usaha pemanfaatan hutan/ pengelola kawasan hutan berkewajiban untuk mengupayakan kompensasi yang memadai antara lain dalam bentuk mata pencaharian baru dan keterlibatan dalam usaha pemanfaatan hutan disekitarnya.

V. PENUTUP

Pemerintah menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan guna memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan diselenggarakan oleh Menteri untuk memberikan kepastian hukum mengenai status, fungsi, letak, batas dan luas kawasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan dilakukan melalui tahapan proses, yaitu penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan.
Penetapan kawasan yang merupakan tahap akhir dan proses pengukuhan kawasan hutan telah memberikan status hukum yang jelas antara lain tidak hanya kelengkapan dokumen yuridis mengenai kawasan hutan tetapi juga kejelasan fisik batas di lapangan. Dengan kejelasan status kawasan hutan maka memudahkan Pemerintah melakukan pengaturan dan pengurusan yang berkaitan dengan kawasan diantaranya mengatur dan menetapkan hubungan- hubungan hukum antara orang/ masyarakat/ badan hukum dengan kawasan hutan serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.


Subdit Pemolaan & Pengembangan
Januari 2007