SURILI (Presbytis comata)
A.
Taksonomi dan Morfologi
Surili merupakan nama dalam bahasa Indonesia dan Sunda untuk
menyebutkan monyet pemakan daun yang penyebarannya hanya terbatas di Pulau Jawa
bagian barat (Ruhiyat 1983, Kool 1992). Surili dalam bahasa inggris dikenal
dengan nama grizzled leaf monkey,
grizzled langur, javan langur, grey langur dan silvered leaf monkey (Hoogerwerf 1970, Kool 1992, Supriatna et al. 1994, Rowe 1996, Duff &
Lawson 20014). Napier & Napier (1967) mengklasifikasikan surili sebagai
berikut : kingdom Animalia, phylum Chordata, subphylum Vertebrata, kelas
Mammalia, ordo Primates, subordo Anthropoidea, superfamily Cercopithecoidae,
family Cercopithecidae, subfamily Colobinae, genus Presbytis, dan spesies Presbytis
anygula Linnaeus, 1758.
Presbytis
anygula memiliki nama asli Semnopithecus
comatus Desmarest, 1822, dan memiliki sinonim S. fulvogriseus Desmoulins, 1825 dan S. nigrimanus Geoffroy, 1943 (Maryanto et al. 2008). P. anygula juga
pernah dikenal dengan nama Simia
fascicularis Raffles, 1821 dan P.
mitrata Eschscholtz, 1821 (Brandon-Jones et al. 2004). Nama P. anygula
pada tahun 1983 diubah menjadi P. comata Desmarest,
1822 (Groves 1993, Brandon-Jones et al.
2004).
Surili yang hidup di Gunung Slamet semula dianggap sebagai
anak spesies dari P. comate sehingga
diberi nama P. comata fredericae Sody, 1930 (Supriatna dan Wahyono 2000,
Supriatna 2008). P. comata fredericae
pada tahun 1985 disulkan sebagai spesies yang terpisah dari P. comate (Brandon-Jones 1985). Para
ilmuwa pada pertemuan IUCN di Florida tahun 2004 memisahkan P. comata fredericae dari anak spesies P. comata menjadi P. comata fredericae Sody, 1930 (Supriatna 2008).
Presbytis adalah
monyet berukuran sedang sampai besar. Monyet ini memiliki bentuk kepala yang
bulat, hidung yang pesek dan perut yang besar ( Napier & Napier 1967). Presbytis memiliki ukuran tungkai yang
kecil dan ramping serta ekor yang lebih panjang dibading ukuran kepala-bada,
tebal ekor seragam dari pangkal sampai ujungnya. Rambut yang meutupi tubuh
cukup panjang dan tebal, rambut di kepala memiliki jambul berujung runcing,
alias meremang kaku mengarah ke depan (Napier & Napier 1967).
Warna tubuh surili dewasa mulai dari kepala sampai bagian
punggung umumnya hitam atau kecoklatan dan keabuan, dan jambul serta rambut
kepala berwarna hitam. Rambut yang tumbuh di bawah dagu, dada dan perut (ventral), bagian dalam lengan, kaki dan
ekor, berwarna putih (Napier 1985, Supriatna & Wahyono 2000). Rambut alis
kaku tumbuh mengarah kedepan. Kulit muka dan telinga berwarna hitam pekat agak
kemerahan. Surili memiliki iris mata cokelat gelap. Anak yang baru lahir
berwarn putih dan memiliki garis hitam mulai dari kepala hingga bagian ekor
(Supriatna & Wahyono 2000).
Surili
memiliki ukuran tubuh yang hampir sama antara jantan dan betina (Supriatna
& Wahyono 2000). Individu jantan dan betina memiliki panjang tumbuh
berkisar 430-600 mm, panjang ekor berkisar 560-720 mm, dan berat tubuh
rata-rata 6,50 kg (Supriatna & Wahyono 2000). Menurut Napier (1985),
individu jantan memiliki panjang kepala sampai badan berkisar 430-595 mm dan
panjang ekor berkisar 560-724 mm, sedangkan individu betina memiliki panjang
kepala sampai badan berkisar 475-570 mm dan panjang ekor berkisar 590-720 mm.
Berat badan individu jantan sekitar 6,40 kg dan individu betina sekitar 6,70 kg
(Fleagle 1988).
B.
Reproduksi
Data yang rinci dan
dipublikasikan terkait dengan reproduksi surili belum tersedia (Rowe 1996).
Musim kelahiran kelompok monyet pemakan daun umumnya sangat tergantung pada
faktor-faktor lingkungan. Kelahiran P.
entelus di Himalaya misalnya terkonsentrasi pada bulan April dan Mei,
tetapi di beberapa daerah di India, kelahiran terjadi sepanjang tahun (Napier
& napier 1985).
Siklus menstruasi kelompok
monyet pemakan daun sekitar 30 hari. Masa kehamilannya diperkirakan sekitar
196-210 hari. Kelompok monyet ini umumnya hanya melahirkan satu individu bayi
pada setiap melahirkan (single births).
Individu bayi pada saat dilahirkan memiliki warna yang berbeda dengan induknya.
Warna ini mulai umur tiga bulan akan terus mengalami perubahan hingga dewasa.
Masa menyusui berlangsung hingga umur dua tahun. Individu betina mengalami
kematangan seksual mulai umur tiga sampai empat tahun, sedangkan individu
jantan mulai umur empat tahun (Napier & Napier 1985).
C.
Habitat dan Penyebaran
Habitat surili adalah hutan
primer dan sekunder, mulai dari hutan mangrove sampai hutan pegunungan, dengan
ketinggian sampai 2.000 mdpl, dan seringkali dijumpai di zona peralihan antara
hutan dan kebun (Supriatna & Wahyono 2000). Surili memiliki lokasi
penyebaran yang sangat terbatas, yakni hanya di Pulau Jawa bagian barat,
sehingga merupakan spesies endemik Jawa Barat (Kool 1992, Supriatna et al. 1994, Supriatna & Wahyono
2000).
Odum (1971) mendefinisikan
habitat suatu organisme suatu organisme sebagai tempat hidup, atau tempat
seseorang harus pergi untuk menemukan organisme tersebut. Habitat dapat juga
digunakan untuk menunjukan sebuah tempat yang didiami oleh seluruh komunitas
(Odum 1971). Pringgoseputra & Srigandono (1990), mendefinisikan habitat
sebagai tempat terbentuknya organisme, baik secara langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi organisme tersebut. Menurut Alikodra (1990), habitat
merupakan tempat tersusun oleh berbagai komponen, baik fisik maupun biotik yang
membentuk suatu kesatuan dan mempunyai fungsi sebagai tempat hidup, penyediaan
makanan, air, pelindung serta tempat berkembangbiaknya satwa liar.
Habitat utama surili pada
mulanya adalah hutan dataran rendah dan daerah pegunungan yang tidak terlalu
tinggi (Hoogerworf 1970). Adanya berbagai kerusakan dan tekanan habitat di
dataran rendah menyebabkan surili lebih banyak dijumpai pada hutan pegunungan
dan subpegunungan, dengan ketinggian 1.200-1.800 mdpl (Ruhiyat 1983, Rowe
1996), dan relatif jarang berada di bawah ketinggian 1.200 mdpl (Supriatna et al. 1994).
Surili umumnya hidupnya pada
habitat hutan primer (Napier & Napier 1985). Surili juga dapat hidup dan
berkembangbiak dengan baik di hutan sekunder maupun perkebunan sekitar
pemukiman, misalnya di perkebunan dan hutan tanaman Perhutani, Bandung Selatan.
Berbeda dengan hasil penelitian Wibisono (1995) di Gunung Honje, Taman Nasional
Ujung Kulon (TNUK), surili tidak pernah ditemukan di kawasan hutan sekunder
maupun bekas ladang penduduk.
TNUK merupakan salah satu
habitat surili dataran rendah yang masih tersisa (MacKinnon 1987). Surili di
TNUK menempati kawasan Gunung Payung dengan ketinggian sekitar 200 mdpl
(Ruhiyat 1983). TN Gunung Gede Pangrango, TN Gunung Halimun-Salak, Cagar Alam
(CA) Gunung Papandayan, CA Gunung Patuha, CA Situ Patenggang, dan TWA Gunung
Tampomas merupakan contoh habitat surili yang berupa hutan sub pegunungan dan hutan
pegunungan (Putra 1993). Di TNGGGP surili berada pada ketinggian 1300-1500 mdpl
(Sujamika 1992).
D.
Ukuran Kelompok dan
Populasi
Surili memiliki ukuran
kelompok yang bervariasi, tergantung kondisi habitatnya, dan umumnya relatif
kecil jika dibandingkan dengan jenis lutung lainnya (Ruhiyat 1983, Supriatna
& Wahyono 2000). Ukuran kelompok surili berkisar antara 3-12 individu,
dengan rata-rata 7 individu (Bennet & Davies 1994). Menurut Supriatna &
Wahyono (2000), jumlah individu surli dalam kelompok berkisar 7-12 individu.
Ukuran kelompok surili di CA Kawah Kamojang berkisar 4-12 individu, dan di CA
Situ Patenggang berkisar 3-10 individu (Ruhiyat 1983). Ukuran kelompok surili
di CA Situ patenggang perkembangan berikutnya tidak banyak mengalami perubahan,
yakni berkisar 3-8 individu (Putra 1993). Ukuran kelompok surili di kawasan
hutanCA Gunung Tukung Gede berkisar antara 5-23 individu (Melisch &
Dirgayusa 1996).
Jumlah individu dalam setiap
kelompok suatu spesies primata dipengaruhi oleh kelimpahan pakan (Napier &
napier 1985). Gangguan habitat juga telah menyebabkan terjadinya perbedaan
ukuran kelompok surili (Tobing 1999). Anggota kelompok surili di TN Gunung
Halimun pada kawasan hutan yang tidak terganggu berkisar 2-8 individu dengan
rata-rata 4 individu, sedangkan pada kawasan hutan yang terganggi berkisar 2-6
individu dengan rata-rata 3 individu (Tobing 1999).
Kepadatan surili pada tahun
1980-an diperkirakan 8.040 individu (MacKinnon 1987). Penyusutan habitat
menyebabkan populasi surili terus menurun (Supriatna & Wahyono 1987). Total
populasi surili akhir-akhir ini berkisar 4.000-6.000 individu (Supriatna &
Wahyono 2000), bahkan pendugaan Rowe (1996) lebih kecil lagi, yakni 3.000
individu. Ukuran populasi surili di kawasan Unocal Geothermal Indonesia, Gunung
Salak, sekitar 984 pada pengamatan pagi dan sekitar 827 individu pada pangamatan
sore (Siahaan 2002).
Kepadatan populasi
diberbagai tempat bervariasi (Ruhiyat 1983, Supriatna et al. 1994, Tobing 1999, Siahaan 2002), yakni berkisar 4-35
individu/Km2 dan dipengaruhi oleh keadaan habitat (Supriatna et al. 1994). Kepadatan populasi surili
di CA Situ Patenggang sekitar 35 individu/Km2 dan di CA Kawah
Kamojang berkisar 11-12 individu/Km2 (Ruhiyat 1983), di TNUK hanya
ditemukan di habitat hutan primer, sekitar 23 individu/Km2 dan pada
habitat terganggu sekitar 8 individu/Km2 (Tobing 1999), dan di
kawasan Unocal Geothermal Indonesia, Gunung Salak berkisar 13-15 individu/Km2
(Siahaan 2002).
E.
Jenis Pakan
Subfamili Colobinae merupakan satwa yang bersifat
arboreal penuh, monyet pemakan daun, dan tanpa kantong pipi (Young 1981, Rowe
1996). Semua satwa yang termasuk ke dalam subfamili Colobinae memiliki sistem pencernaan yang sudah teradaftasi secara
khusus untuk mendukung koloni bakteri di dalam usus. Koloni bakteri ini akan
membantu Colobinae untuk menyerap
selulosa pada daun, buah, dan biji (Rowe 1996).
Makanan utama surili adalah
daun, terutama daun muda, sehingga disebuat satwa pemakan daun /foliovora (Tobing 1999). Surili juga
mengkonsumsi sebagian kecil buah, tunas, bunga, biji, tangkai dan umbut sebagai
sumber pakan tambahan (Napier & napier 1985). Dominannya bagian daun yang
dikonsumsi surili telah dibuktikan oleh para peneliti di CA Situ Patenggang,
Jawa Barat, mencapai 78,60%, terutama daun muda sebanyak 45 % (Putra 1993). Surli
di CA Kawah Kamojang juga mengkonsumsi daun (muda dan tua) sebanyak 64 %,
sedangkan buah dan biji sebanyak 14 % dan bunga sebanyak 7 % (Ruchiyat 1983),
sisanya yang berupa serangga, tanah dan jamur sebanyak 15 % (Supriatna &
Wahyono 2000).
Jumlah jenis tumbuhan yang
dimakan oleh surili bervariasi, tergantung tipe habitatnya. Tumbuhan yang
dimanfaatkan oleh surili sebagai pakan sekitar 74 jenis (Rowe 1996), 28 jenis
dikonsumsi bagian daunnya (Putra 1993) dan 36 jenis dikonsumsi bagian buahnya
(Ruhiyat 1983). Jumlah tumbuhan yang dimakan surili di TNGH sebanyak 66 jenis
(Farida & Harun 2000), di CA Situ Patenggang sebanyak 42 jenis (Putra 1993)
dan di kawasan Unocal Geothermal Indonesia Gunung Salak sebanyak 37 jenis
(Siahaan 2002). Jenis-jenis tersebut diantaranya cerem Macroponax dispermum, kikopi Canthium
glabrum, Peusar Artocarpus rigida, purut Parartocarpus venenosa, rambutan Nephelium lappaceum, duku Lansium domesticum, kokosan leuweung Dysoxylum caulostacchyum dan pisang
hutan (Melisch & Dirgayusa 1996).
Dipilihnya daun yang masih
muda sebagai pakan diduga karena daun muda cenderung memiliki protein yang
cukup tinggi, lignin dan tanin yang renda, serta lebih mudah dicerna.
F.
Sosio-ekologi dan
Aktifitas Harian
Surili merupakan spesies primata yang hidup
berkelompok dengan satu jantan banyak betina (Benet & Davis 1994, Rowe
1996, Tobing 1999, Supriatna & Wahyono 2000). Jantan dewasa bersifat
dominan (Ruhiyat 1983). Surili merupakan salah satu jenis primata yang aktif di
siang hari/diurnal (Putra 1993), Rowe
1996, Supriatna & Wahyono 2000). Surili mulai meninggalkan pohon tempat
tidurnya sekitar pukul 06.00. Pergerakan mencari makan pada pagi hari dilakukan
relative cepat dengan berpindah dari satu pohon ke pohon lain, disertai dengan
vokalisasi (morning call) beberapa
kali oleh individu jantan dewasa yang memimpin pergerakan. Kelompok akan
berhenti dan mulai melakukan aktifitas makan ketika mendapatkan pohon pakan.
Istirahat berlangsung 2-3 jam, sampai tengah hari. Surili terlihat aktif kembali
melakukan aktifitas makan makan pada sore hari (sekitar pukul 16.00), dengan
aktivitas makan makin meningkat terutama menjelang malam hari pada saat surili
akan istirahat. Aktivitas makan pada saat hari mulai gelap (+ pukul
18.30) akan menurun dengan ditandai pergerakan berpindah yang makin lambat dari
satu pohon ke pohon lainnya dan bila cuaca sudah gelap surili menghentikan
seluruh aktivitasnya. Pemilihan pohon tempat tidur biasanya pada daerah yang
tidak jauh dari tepi hutan (Putra 1993).
Surili menggunakan sebagian besar waktunya untuk
beristirahat (Putra 1993). Waktu yang digunakan surili untuk beristirahat
sekitar 60.00%, untuk makan sekitar 30.00%, untuk pergerakan/berpindah sekitar
5.00% (Supriatna & Wahyono 2000). Surili ketika melakukan penjelajahan
umumnya akan tetap bersama-sama dan tidak terpisah menjadi beberapa anak
kelompok. Pada saat penjelajahan tersebut, surili dapat menggunakan semua
lapisan kanopi hutan, baik pada lapisan kanopi bawah, tengah maupun atas
(Tobing 1999). Menurut Supriatna et al. 1994),
surili lebih sering berada pada lapisan kanopi bawah dan tengah. Perbedaan
tersebut diduga lebih disebabkan karena adanya perbedaan komposisi tumbuhan
(baik mencakup pohon pakan maupun sebaran tinggi pohon) pada masing-masing
habitat. Jantan akan mengeluarkan suara sebagai peragaan kekuatan sambil
berlari-lari dan melompat, ketika dua kelompok bertemu. Namun, bentrokan secara
fisik antara dua kelompok surili yang bertemu dalam penjelajahan tidak pernah
dilaporkan terjadi.
G.
Wilayah Jelajah
Surili juga merupakan spesies primate yang jarak
tempuh perjelajahan hariannya cukup pendek. Jarak tempuh surili setiap harinya
kurang dari 1.000 meter (Rowe 1996). Menurut Putra (1993), surili tiap harinya
bergerak menjelah sejauh 182-400 m. Menurut Rowe (1996), surili dapat menempuh
jarak 400-600 m setiap hari, sedangkan menurut Supriatna & Wahyono (2000),
surili memiliki pergerakan harian rata-rata mencapai 900 m/hari.
Setiap kelompok surili memiliki luas wilayah jelajah
yang berbeda dan terkadang tumpang tindih dengan kelompok surili lainnya (Putra
1993). Menurut Supriatna & Wahyono (2000), surili memiliki daerah jelajah
berkisar antara 9,00-2,00 ha yang tergantung pada besar kecilnya kelompok.
Menurut Putra (1993), luas wilayah jelajah surili di CA Situ Patenggang sekitar
7,75 ha.
H.
Kecepatan Deteksi terhadap Kehadiran Manusia
Kecepatan deteksi dari primata terhadap kehadiran
manusia dapat dijadikan sabagai salah satu gambaran tingkat adaptasi suatu
spesies terhadap kondisi lingkungan (kualitas hutan sebagai habitat), terutama
terhadap kehadiran manusia (Tobing 1999). Surili merupakan satwa yang sangat
penakut (Kool 1992). Hasil penelitian yang dilakukan di Cikaniki TNGH, surili
yang hidup di hutan yang tidak terganggu umumnya memiliki kemampuan deteksi
awal lebih tinggi terhadap kehadiran manusia dibandingkan dengan surili yang
hidup di hutan terganggu. Surili merupakan spesies yang paling waspada di
habitat hutan tidak terganggu, bila dibandingkan dengan lutung jawa Trachypithecus auratus dan owa jawa Hylobates moloch. Surili pada hutan
terganggu merupakan spesies yang paling tidak waspada dibandingkan dengan
lutung jawa dan owa jawa. Ini juga dapat menjadi indikasi bahwa surili
merupakan spesies yang paling adaptif di hutan terganggu, dalam hal ini deteksi
terhadap kehadiran manusia, jika dibandingkan dengan lutung dan owa jawa
(Tobing 1999).
Surili tidak pernah
memberikan reaksi positif terhadap kehadiran manusia (mendeteksi manusia), baik
pada hutan tidak terganggu maupun hutan terganggu. Surili lebih banyak
memberikan rekasi negatif dibandingkan dengan reaksi netral, baik pada hutan
yang terganggu maupun tidak terganggu. Surili akan mengeluarkan suara tanda
bahaya (alarm call), berlari naik
lebih tinggi di pohon untuk menghidnar ketika melihat manusia (Tobing 1999).
I.
Pengaruh Gangguan Habitat terhadap Populasi
Penyusutan habitat merupakan
ancaman terbesar bagi populasi surili. Penyusutan habitat yang sangat pesat di
Pulau Jawa menyebabkan surili kehilangaan sekitar 96% habitatnya, dari luas 43.274
km2 menjadi hanya 1.608 km2, akibatnya populasi surili di
dalam terus menurun. Populasi surili yang saat ini menempati kawasan konservasi
seluas 730 km2 diperkirakan hanya sekitar 4.000-6.000 individu
(Supriatna & Wahyono 2000).
Gangguan habitat merupakan
bentuk gangguan yang paling serius terhadap ancaman keberadaan surili (Putra
1993). Persentasi kelompok surili yang mempunyai bayi pada habitat tak
terganggu di kawasan hutan TNGH adalah 20,00% dan di hutan terganggu sebanyak
17,00%. Rata-rata rasio jumlah bayi dengan betina dewasa di hutan tak terganggu
sebesar 0,20 sedangkan di hutan terganggu sebesar 0,17. Data ini
mengidentifikasikan adanya kecenderungan proses perkembangbiakan lebih tinggi
terjadi di habitat hutan tak terganggu dibandingkan dengan di habitat hutan
terganggu (Tobing 1999).
Gangguan habitat juga
berpengaruh terhadap kepadatan individu dan besarnya anggota kelompok.
Kepadatan individu surili di TNGH pada habitat tidak terganggu sebesar 23
individu/km2, sedangkan pada habitat terganggu sebesar 8 individu/km2.
Ukuran kelompok surili rata-rata di habitat tidak terganggu sekitar 4
individu/kelompok, sedangkan di habitat terganggu sekitar 3 individu/kelompok
(Tobing 1999).